Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria


BAB I
PENDAHULUAN
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERKEMIHAN

1.1    LATAR BELAKANG
Sistem perkemihan merupakan sistem yang penting untuk membuang sisa-sisa metabolisma makanan yang dihasilkan oleh tubuh terutama senyawaan nitrogen seperti urea dan kreatinin, bahan asing dan produk sisanya. Sampah metabolisma ini dikeluarkan (disekresikan) oleh ginjal dalam bentuk urin. Urin kemudian akan turun melewati ureter menuju kandung kemih untuk disimpan sementara dan akhirnya secara periodik akan dikeluarkan melalui uretra.
1.2    RUMUSAN MASALAH
Dari Latar belakang diatas penyusun menyimpulkan rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini yaitu tentan Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan.
1.3    TUJUAN
Tujuan penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Anatomi Fisiologi di STIKES BAKTI KENCANA BANDUNG
1.4    MANFAAT
Dari penyusunan makalah ini diharapkan memberikan manfaat khususnya bagi penyusun sendiri dan umum bagi pembaca tentang informasi dan pengetahuan tentang anatomi dan fisologi system perkemihan.
1.5    SISTEMATIKA PEMBAHASAN
BAB I Pendahuluan berisi tentang latar belakang, rumusan masalah , tujuan dan sistematika pembahasan.
BAB II Pembahasan berisi tentang pengertian system perkemihan, organ-organ system perkemihan , dan mekanisme perkemihan
BAB III Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran
BAB IV Daftar Pustaka berisi tentang referensi atau literature yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERKEMIHAN

2.1  PENGERTIAN SISTEM PERKEMIHAN
Sistem perkemihan atau sistem urinaria, adalah suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih di pergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).
Gambar 1. Sistem Perkemihan

2.2  ORGAN – ORGAN SISTEM PERKEMIHAN
  1. GINJAL
1.       Anatomi ginjal
a)      Makroskopis
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium, didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor). Ginjal pada orang dewasa penjangnya sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau ginjal beratnya antara 120-150 gram.
Bentuknya seperti biji kacang, jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda yaitu korteks dan medulla.
Medulla terbagi menjadi baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul (Price,1995 : 773).
b)      Mikroskopis
Tiap tubulus ginjal dan glumerulusnya membentuk satu kesatuan (nefron). Nefron adalah unit fungsional ginjal. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar satu juta nefron. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul. (Price, 1995)
c)      Vaskularisasi ginjal
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus (Price, 1995).
Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume yang sama dengan 20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk keginjal berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteri dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan ( Price, 1995).
d)      Persarafan pada ginjal
Menurut Price (1995) “Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal”.
2.       Fisiologi ginjal
Menurut Syaifuddin (1995) “Fungsi ginjal yaitu mengeluarkan zat-zat toksik atau racun, mempertahankan keseimbangan cairan, mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh,  mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh,  mengeluarkan sisa metabolisme hasil akhir sari protein ureum, kreatinin dan amoniak”.
Tiga tahap pembentukan urine :
1.       Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.
2.       Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
3.       Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya.
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium).
Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.
Gambar 2. Ginjal

  1. URETER
Secara histologik ureter terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan adventisia. Lapisan mukosa terdiri atas epitel transisional yang disokong oleh lamina propria. Epitel transisional ini terdiri atas 4-5 lapis sel. Sel permukaan bervariasi dalam hal bentuk mulai dari kuboid (bila kandung kemih kosong atau tidak teregang) sampai gepeng (bila kandung kemih dalam keadaan penuh/teregang). Sel-sel permukaan ini mempunyai batas konveks (cekung) pada lumen dan dapat berinti dua. Sel-sel permukaan ini dikenal sebagai sel payung. Lamina propria terdiri atas jaringan fibrosa yang relatif padat dengan banyak serat elastin. Lumen pada potongan melintang tampak berbentuk bintang yang disebabkan adanya lipatan mukosa yang memanjang. Lipatan ini terjadi akibat longgarnya lapis luar lamina propria, adanya jaringan elastin dan muskularis. Lipatan ini akan menghilang bila ureter diregangkan.
Lapisan muskularisnya terdiri atas atas serat otot polos longitudinal disebelah dalam dan sirkular di sebelah luar (berlawan dengan susunan otot polos di saluran cerna). Lapisan adventisia atau serosa terdiri atas lapisan jaringan ikat fibroelsatin.
Fungsi ureter adalah meneruskan urin yang diproduksi oleh ginjal ke dalam kandung kemih. Bila ada batu disaluran ini akan menggesek lapisan mukosa dan merangsang reseptor saraf sensoris sehingga akan timbul rasa nyeri yang amat sangat dan menyebabkan penderita batu ureter akan berguling-gulung, keadaan ini dikenal sebagai kolik ureter.
Gambar 3 . Ureter

  1. VESIKA URINARIA (KANDUNG KEMIH )
Kandung kemih terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan serosa/adventisia. Mukosanya dilapisi oleh epitel transisional yang lebih tebal dibandingkan ureter (terdiri atas 6-8 lapis sel) dengan jaringan ikat longgar yang membentuk lamina propria dibawahnya. Tunika muskularisnya terdiri atas berkas-berkas serat otot polos yang tersusun berlapis-lapis yang arahnya tampak tak membentuk aturan tertentu. Di antara berkas-berkas ini terdapat jaringan ikat longgar. Tunika adventisianya terdiri atas jaringan fibroelastik.
Fungsi kandung kemih adalah menampung urin yang akan dikeluarkan kedunia luar melalui uretra.
Vesika urinariaTerletak di belakang os pubis,vesika uranaria yang kosong berbentuk limas yang mempunyai puncak (apex), permukaan dorsal (sebagai dasar), dinding superior dan dua dinding lateroinferior.
Jika vesika urinaria terisi penuh, permukaan atasnya akan menonjol ke rongga perut, dan berbentuk ovoid (seperti telur), membran mukosa tidak lagi berbentuk lipatan-lipatan.
Pada sudut superior terdapat ureter, pada sudut inferior terdapat orificium urethra internum.
Proses berkemih dalam vesika urinaria merupakan Suatu proses refleks yang diatur oleh pusat-pusat refleks di otak.
Rangsang (impuls) yang terjadi akibat teregangnya dinding Vesika Urinaria dihantarkan oleh neuron-neuron sensoris viseral aferen melalui n. splanchnicus memasuki medulla spinalis segmen sacral 2,3,dan 4.
Rangsang saraf menyebabkan otot-otot polos Vesika Urinaria berkontraksi, m. sphincter vesicae melemas. Neuron-neuron eferen para simpatis mengambil jalan melalui n. pudendus (S2,3, dan 4) menuju ke sphincter urethra.Pengontrolan berkemih anak-anak mulai umur 3-4 tahun.
Gambar 4. Vesika Urinaria

  1. URETRA
Panjang uretra pria (Gb-16) antara 15-20 cm dan untuk keperluan deskriptif terbagi atas 3 bagian yaitu:
1.      Pars Prostatika, yaitu bagian uretra mulai dari muara uretra pada kandung kemih hingga bagian yang menembus kelenjar prostat. Pada bagian ini bermuara 2 saluran yaitu duktus ejakulatorius dan saluran keluar kelenjar prostat.
2.      Pars membranasea yaitu bagian yang berjalan dari puncak prostat di antara otot rangka  pelvis menembus membran perineal dan berakhir pada bulbus korpus kavernosus   uretra.
3.      Pars kavernosa atau spongiosa yaitu bagian uretra yang menembus korpus kavernosum dan bermuara pada glands penis.
Epitel uretra bervariasi dari transisional di uretra pars prostatika, lalu pada bagian lain berubah menjadi epitel berlapis atau bertingkat silindris dan akhirnya epitel gepeng berlapis pada ujung uretra pars kavernosa yang melebar yaitu di fosa navikularis. Terdapat sedikit sel goblet penghasil mukus. Di bawah epitel terdapat lamina propria terdiri atas jaringan ikat fibro-elastis longgar.
Pada wanita uretra jauh lebih pendek karena hanya 4 cm panjangnya. Epitelnya bervarias dari transisional di dekat muara kandung kemih, lalu berlapis silindris atau bertingkat hingga berlapis gepeng di bagian ujungnya. Muskularisnya terdiri atas 2 lapisan otot polos tersusun serupa dengan ureter (aw/2001).
Gambar 5. Uretra

2.3  MEKANISME PERKEMIHAN
  1. Mekanisme Renin Angiotensin
Pengaturan atau regulasi tekanan darah juga merupakan salah satu fungsi system renal. Suatu hormon yang dinamakan rennin disekresikan oleh sel-sel jukstaglomeruler ketika tekanan darah menurun. Rennin adalah enzim pertama dalam kaskade biokimia system rennin-angiotensin-aldosteron. Fungsi system ini adalah mempertahankan volume ECF (Efektif Circulation Volume) dan tekanan perfusi jaringan dengan mengubah resistensi pembuluh darah dan ekskresi Na+ dan air di ginjal. Hipoperfusi ginjal, yang dihasilkan oleh hipotensi dan penurunan volume serta peningkatan aktivitas simpatetik adalah perangsangan utama sekresi rennin. Asupan ke system saraf pusat diberikan oleh baroreseptor yang terletak di pusat melalui saraf vagus dan glosofaringeal, yang sebaliknya mempengaruhi keluaran simpatetik : baroreseptor yang terletak dalam atrium jantung dan pembuluh darah paru bertekanan rendah terutama merespon volume atau isi dari cabang pembuluh darah. Baroreseptor terletak dalam arkus aorta dan sinus karotis bertekanan tinggi yang terutama merespon terhadap tekanan arteri darah. Penurunan tekanan darah menghasilkan peningkatan aktivitas simpatis ginjal, menyebabkan retensi Na+ dan air. Peningkatan tekanan intravaskuler memiliki efek yang bertolak belakang.
Suatu enzim akan mengubah rennin menjadi angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, yaitu senyawa vasokonstriktor paling kuat. Vasokonstriksi menyebabkan peningkatan tekanan darah. Aldosteron disekresikan oleh korteks adrenal. Sebagai reaksi terhadap stimulasi oleh kelenjar hipofisis dan pelepasan ACTH sebagai reaksi terhadap perfusi yang jelek atau peningkatan osmolalitas serum. Akibatnya peningkatan tekanan darah.
Atrium jantung memiliki mekanisme tambahan untuk mengontrol ekskresi Na+ ginjal dan volume ECF yang secara berlawanan mengatur mekanisme rennin-angiotensin-aldosteron. Atrium jantung menyintesis suatu hormon yang disebut peptide natriuretik atrial (ANP) yang kemudian disimpan dalam granula. ANP dilepaskan dari granula atrium sebagai respon terhadap regangan yaitu peningkatan volume ECF. ANP meningkatkan ekskresi Na+ dan air oleh ginjal.
  1. Peranan Eritropoetin dalam pembentukan darah.
Sampai saat ini peranan eritropoietin (EPO) telah banyak dikenal dalam sisi hematologik yaitu dalam meningkatkan pembentukan sel darah merah melalui rangsangan terhadap proses eritropoiesis. Saat ini penjelajahan kemampuan EPO semakin berkembang diantaranya adalah peranannya di dalam otak sebagai neuroprotektor. EPO meningkatkan produksi sel-sel darah merah dan bisa mengurangi ketergantungan akan transfusi darah. Namun EPO tidak ditujukan untuk menggantikan transfusi emergensi.
Hormon ini bersirkulasi sepanjang aliran darah menuju sumsum tulang dan menstimulasi produksi sel darah merah. Bila terjadi gagal ginjal, maka produksi EPO terhenti. Akibatnya produksi sel darah merah pun turut berkurang yang bisa berujung pada anemia parah.
Meski pengetahuan tentang fungsi eritropoietin itu telah lama diketahui, namun keberadaannya sebagai agen terapi untuk mengatasi gangguan produksi darah merah belum begitu lama dikenal. Bayangkan saja, berdasarkan percobaan transfusi pada kelinci, eksistensi suatu faktor humoral yang mengatur produksi sel darah merah telah sukses dipostulasikan pada 1906. Namun sampai dengan 1950, faktor eritropoietik ini masih belum terindentifikasi. Sepuluh tahun kemudian baru diketahui bahwa faktor ini bersumber dari ginjal.
Setelah sekian lama penelitian dilakukan, barulah pada 1977, T. Miyake, C. K. Kung dan E. Goldwasser dari University of Chicago  berhasil memurnikan EPO dari urin manusia. Sejak saat itu, eritropoietin yang berasal dari protein asli manusia ini mulai digunakan  secara terbatas dalam eksperimen untuk mengobati pasien anemia. Dan, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, pada 1983 pengodean gen EPO sukses diidentifikasi. Alhasil, EPO pun bisa diproduksi secara masal dengan menggunakan teknologi DNA rekombinan pada kultur sel mamalia.
Sekarang, hormon yang juga dikenal dengan sebutan hematopoietin atau hemopoietin ini diidentifikasi sebagai suatu glikopritein dengan masa molekul sekitar 30.000 Dalton. Hormon ini memiliki 165 rantai asam amino dengan 4 sisi rantai oligosakarida. Di samping itu, indikasi penggunaannya pun turut berkembang. Kini, EPO tak hanya digunakan untuk mengatasi anemia pada pasien gagal ginjal kronis, namun juga untuk anemia pada pasien yang menjalani kemoterapi dan antisipasi kehilangan darah pada pembedahan.
Pada prinsipnya, terapi EPO pada pasien tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi sel darah merah dan mengurangi kebutuhan akan transfusi darah. Namun, EPO tidak ditujukan untuk pasien dengan anemia parah yang membutuhkan koreksi secepatnya. EPO tidak ditujukan untuk mengantikan transfusi emergensi. 
  1. Pengaturan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit, Serta Sistem Buffer
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan.
1.      Pengaturan volume cairan ekstrasel.
Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.
a)      Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake dan output) air. Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam: 1. eksternal fluid exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar; dan 2. Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi dan reabsorpsi di kapiler ginjal.
b)      Memeperhatikan keseimbangan garam. Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama dengan keluarannya. Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urine untuk mempertahankan keseimbangan garam.
Ginjal mengontrol jumlah garam yang dieksresi dengan cara:
- Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR).
-  Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal.
Jumlah Na+ yang direasorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri.Selain sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air.
2.      Pengaturan Osmolaritas Cairan Ekstrasel
Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan. Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium menrupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui:
a)   Perubahan osmolaritas di nefron
Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di dukstus koligen. Dinding tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta.
Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH).
b)                Mekanisme haus dan peranan vasopresin (antidiuretic hormone/ADH)
Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel akan merangsang osmoreseptor di hypotalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypotalamus yang mensintesis vasopresin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. ikatan vasopresin dengan reseptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus koligen. Pembentukkan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urine yang terbentuk di duktus  koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dipertahankan.
3.      Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melalui baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di hypotalamus, dan volume reseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ADH dengan meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka hormone atriopeptin (ANP) akan meningkatkan eksresi volume natrium dan air.
Perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan.Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit di antaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stres, dan penyakit.

4.      Keseimbangan Asam-Basa
Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan konsentrasi ion H bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4; pH darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35. Jika pH <7,35 dikatakan asidosi, dan jika pH darah >7,45 dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:
a)   Pembentukkan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H dan bikarbonat.
b)   Katabolisme zat organik
c)    Disosiasi asam organik pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan berdisosiasi melepaskan ion H.
Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain:
-          perubahan eksitabilitas saraf dan otot, pada asidosis terjadi depresi susunan saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
-          mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh
-          mempengaruhi konsentrasi ion K
Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan ion H seperti nilai semula dengan cara:
-          mengaktifkan sistem dapar  (buffer) kimia
-          mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernafasan
-          mekanisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan
5.       Sistem Buffer (dapar)
Ada 4 sistem dapar:
a)   Dapar bikarbonat, merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama untuk perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat.
b)   Dapar protein, merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel.
c)    Dapar hemoglobin, merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam karbonat.
d)   Dapar fosfat, merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel.
Sistem dapar kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementara. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akinat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan amonia.
2.4  GANGGUAN – GANGGUAN PADA SISTEM PERKEMIHAN
Ada beberapa gangguan yang terjadi pada system perkemihan sebagai akibat dari pola hidup yang salah atau bakat bawaan sejak lahir yaitu :
  1. Gagal Ginjal
Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urine.
Penyakit gagal ginjal ini dapat menyerang siapa saja yang menderita penyakit serius atau terluka dimana hal itu berdampak langsung pada ginjal itu sendiri. Penyakit gagal ginjal lebih sering dialamai mereka yang berusia dewasa, terlebih pada kaum lanjut usia.
Terjadinya gagal ginjal disebabkan oleh beberapa penyakit serius yang didedrita oleh tubuh yang mana secara perlahan-lahan berdampak pada kerusakan organ ginjal. Adapun beberapa penyakit yang sering kali berdampak kerusakan ginjal diantaranya :
-       Penyakit tekanan darah tinggi (Hypertension)
-       Penyakit Diabetes Mellitus (Diabetes Mellitus)
-       Adanya sumbatan pada saluran kemih (batu, tumor, penyempitan/striktur)
-       Kelainan autoimun, misalnya lupus eritematosus sistemik
-       Menderita penyakit kanker (cancer)
-       Kelainan ginjal, dimana terjadi perkembangan banyak kista pada organ ginjal itu sendiri (polycystic kidney disease)
-       Rusaknya sel penyaring pada ginjal baik akibat peradangan oleh infeksi atau dampak dari penyakit darah tinggi. Istilah kedokterannya disebut sebagai glomerulonephritis.
Adapun penyakit lainnya yang juga dapat menyebabkan kegagalan fungsi ginjal apabila tidak cepat ditangani antara lain adalah ; Kehilangan carian banyak yang mendadak ( muntaber, perdarahan, luka bakar), serta penyakit lainnya seperti penyakit Paru (TBC), Sifilis, Malaria, Hepatitis, Preeklampsia, Obat-obatan dan Amiloidosis.
Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana funngsinya. Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis serangan gagal ginjal, akut dan kronik.
  1. Neprolithiasis
Keadaan yang ditandai dengan adanya batu ginjal (renal kalkuli) disebut Nephrolithiasis. Batu ginjal secara medis disebut renal calculi, merupakan penumpukan garam mineral yang dapat diam di mana saja di sepanjang saluran perkemihan. Ini terjadi jika urine penuh mencapai batas jenuh asam urat, fosfat, dan kalsium oksalat.
Normalnya, zat-zat ini larut dalam cairan urine dan dengan mudah terbilas saat buang air kecil. Tetapi ketika mekanisme alami seperaati pengaturan keseimbangan asam-basa (pH) terganggu atau imunitas tertekan, zat-zat itu mengkristal dan kristal ini bisa menumpuk, akhirnya membentuk zat yang cukup besar untuk menyumbat aliran urine.
Gejala batu ginjal termasuk rasa sakit yang menjalar dari punggung bagian atas ke perut bagian bawah paha, sering kencing, nanah dan darah dalam urine, tidak ada formasi urine, dan kadang-kadang menggigil atau demam. Pada kasus ringan gejala hampir sama dengan gangguan perut.
Ukuran batu ginjal bervariasi dari satu tittik sampai ukuran lebih besar dari ujung jari. Batu ginjal dapat terbentuk dalam ,Ginjal, Pelvis ginjal, Uretra (saluran kemih), Jalan masuk ke kandung kemih, Kandung kemih
  1. BPH(Benign Prostatic Hyperplasia )
Adalah Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostatic Hyperplasia) adalah pertumbuhan jinak pada kelenjar prostat, yang menyebabkan prostat membesar.
Pembesaran prostat sering terjadi pada pria di atas 50 tahun,Penyebabnya tidak diketahui, tetapi mungkin akibat adanya perubahan kadar hormon yang terjadi karena proses penuaan.
Kelenjar prostat mengeliling uretra (saluran yang membawa air kemih keluar dari tubuh), sehingga pertumbuhan pada kelenjar secara bertahap akan mempersempit uretra. Pada akhirnya aliran air kemih mengalami penyumbatan.
Akibatnya, otot-otot pada kandung kemih tumbuh menjadi lebih besar dan lebih kuat untuk mendorong air kemih keluar.
Jika seorang penderita BPH berkemih, kandung kemihnya tidak sepenuhnya kosong.
Air kemih tertahan di dalam kandung kemih, sehingga penderita mudah mengalami infeksi dan membentuk batu. Penyumbatan jangka panjang bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Pada penderita BPH, pemakaian obat yang mengganggu aliran air kemih (misalnya antihistamin yang dijual bebas) bisa menyebabkan penyumbatan.
  1. ISK ( Infeksi Saluran Kemih )
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang terjadi pada saluran kemih. ISK merupakan kasus yang sering terjadi dalam dunia kedokteran. Walaupun terdiri dari berbagai cairan, garam, dan produk buangan, biasanya urin tidak mengandung bakteri. Jika bakteri menuju kandung kemih atau ginjal dan berkembang biak dalam urin, terjadilah ISK. Jenis ISK yang paling umum adalah infeksi kandung kemih yang sering juga disebut sebagai sistitis. Gejala yang dapat timbul dari ISK yaitu perasaan tidak enak berkemih (disuria, Jawa: anyang-anyangen). Tidak semua ISK menimbulkan gejala, ISK yang tidak menimbulkan gejala disebut sebagai ISK asimtomatis.
ISK dapat disebabkan oleh kebiasaan yang tidak baik (kurang minum, menahan kemih), kateterisasi, dan penyakit serta kelainan lain. serta berhubungan dengan gonta ganti pasangan..yang kita tidak tau juga kalau pasangan itu membawa bakteri dari pasangan lain. terutama kalau sitem ketahanan tubuh sudah berkurang, apa saja jenis bakteri akan sangat gampang sekali masuk ke dalam tubuh.
  1. Cystitis
Cystitis adalah istilah kedokteran untuk radang kandung kemih. Sebagian besar peradangan disebabkan oleh infeksi bakteri, dalam hal ini dapat disebut sebagai infeksi saluran kemih (ISK). Infeksi kandung kemih dapat menyakitkan dan menyebalkan, dan dapat menjadi masalah kesehatan serius jika infeksi menyebar ke ginjal.
Meski kurang umum, Cystitis dapat terjadi sebagai reaksi terhadap obat-obatan tertentu, terapi radiasi atau iritasi juga berpotensi menyebabkan infeksi. Penyebab lain seperti alat semprot pembersih genital wanita atau penggunaan kateter dalam jangka waktu lama. Cystitis dapat juga terjadi sebagai komplikasi penyakit lain.



BAB III
PENUTUP
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERKEMIHAN

3.1    KESIMPULAN
a.    Sistem perkemihan atau sistem urinaria, adalah suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih di pergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).
b.    Organ –organ system perkemihan
-       Ginjal
-       Ureter
-       Vesika Urinaria
-       Uretra
c.    Mekanisme system perkemihan dalam peranannya sebagai organ homeostatis antara lain :
-       Mekanisme Renin Angiotensin
-       Peranan Eritropoetin dalam pembentukan darah.
-       Pengaturan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit, Serta Sistem Buffer
d.    Gangguan-gangguan pada system perkemihan
-       Gagal Ginjal
-       Neprolithiasis
-       BPH
-       ISK
-       Cystitis
3.2    SARAN
Untuk menghindari gangguan pada system perkemihan perlu diperhatikan dari pola hidup sehari- hari antara lain, kebiasaan BAK, kebisaan sembarang minum Obat, personal Heygen daerah perkemihan dll.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1.      Wonodirekso S dan Tambajong J (editor), (1990),Sistem urinaria dalam Buku Ajar   Histologi Leeson and Leeson (terjemahan), Edisi V, EGC, Jakarta.
2.      Penuntun Praktikum Histologi, Fakultas Kedokteran UI, hal 136-141
3.      Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II. Jakarta: EGC
4.      Pearce, Efelin C. 2006. Anatomi dan fisiologi untuk paramedic Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
5.      Syaifuddin. 1997. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat. Jakarta: EGC
6.      Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC






Tidak ada komentar:

Posting Komentar